Feeds:
Posts
Comments

Archive for the ‘Uncategorized’ Category

Ikhtisar Konsep Marxis atas sifat manusia adalah manusia menciptakan cara sendiri untuk dapat tetap hidup. Manusia menciptakan dirinya dalam proses yang sengaja, atau yang dilakukan dengan sadar yang bertujuan untuk mentransformasi dan memanipulasi alam. Dalam suatu doktrin yang biasanya yang diberi istilah materisalisme historis, Marx menegaskan, “Modus produksi dari kehidupan sosial mengkondisikan proses umum kehidupan sosial, politik, dan intelektual. Bukanlah kesadaran manusia yang menentukan eksistensi mereka, melainkan eksistensi sosial menentukan kesadaran mereka”. Komentar bahwa ”Pekerjaan perempuan tidak pernah selesai” bagi feminis Marxis adalah lebih dari sekedar afomisme, komentar itu merupakan gambaran dari sifat pekerjaan perempuan. Karena itu feminis Marxis percaya bahwa untuk memahami mengapa perempuan teropresi, sementara laki-laki tidak, maka kita perlu menganalisis hubungan antara status pekerjaan perempuan dan citra diri perempuan. Dalam teori ekonomi Marxis, feminis Marxis percaya bahwa pekerjaan perempuan membentuk pemikiran perempuan dan karena itu membentuk juga sifat-sifat alamiah perempuan. Mereka juga percaya bahwa kapitalisme adalah suatu sistem hubungan kekuasaan yang eksploitatif (majikan mempunyai kekuasaan yang lebih besar, mengkoersi pekerja untuk bekerja lebih keras) dan hubungan pertukaran (bekerja untuk upah, hubungan yang diperjualbelikan).  Feminisme Marxis menolak hubungan kontraktual antara pekerja dan majikan. Marx memandang bahwa tidak ada pilihan bebas yang dapat diambil oleh pekerja. Majikan mempunyai monopoli alat produksi, karena itu pekerja harus memilih antara dieksploitasi atau tidak punya pekerjaan sama sekali. Atas dasar pemikiran ini, feminis Marxis berpendapat bahwa pada kondisi dimana seseorang tidak mempunyai hal berharga untuk dijual lagi lebih dari dan diluar tubuhnya, kekuatan tawarnya di pasar menjadi terbatas. Berdasarkan teori kemasyarakatan, Marxis menganalisis bahwa kapitalis menciptakan jurang yang dalam (kelas) antara 2 kelompok yaitu pekerja (miskin dan tidak memiliki properti) dan majikan (hidup dalam kemewahan). Ketika dua kelompok ini, yang punya dan yang tidak, menjadi sadar akan dirinya sebagai kelas maka perjuangan kelas secara tidak terhindarkan akan menimbulkan dan pada akhirnya melucuti sistem yang menghasilkan kelas ini. Kelas tidak begitu saja muncul. Kelas muncul secara perlahan-lahan dibentuk oleh orang-orang yang berbagi kebutuhan dan keinginan yang sama. Pentingnya kelas tidak dapat diabaikan. Ketika sebagai kelompok manusia menyadari sepenuhnya kelompoknya sebagai kelas, kelompok ini mempunyai kesempatan yang besar untuk mencapai tujuan fundamentalnya. Ada kekuatan dalam jumlah. Kesadaran kelas menyebabkan orang-orang yang tereksploitasi untuk percaya bahwa mereka bebas untuk bertindak dan berbicara sama seperti orang-orang yang mengeksploitasinya. Allen Wood dalam bukunya Karl Marx mengungkapkan pembagian kelas dapat menimbulkan kebencian dan sifat yang tersegmentasi serta terspesialisasi dari proses kerja, dimana eksistensi manusia akan kehilangan kesatuan dan keutuhannya dengan empat cara yaitu pertama, manusia teralienasi dari produk kerja, kedua teralienasi dari diri mereka sendiri, ketiga teralienasi dari manusia lainnya dan keempat teralienasi dari alam. Ann Foreman berpendapat, jika alienasi pada perempuan sangatlah mengganggu karena perempuan mengalami dirinya bukan sebagai Diri, melainkan sebagai Liyan. Karena itu, feminis Marxis ingin menciptakan dunia tempat perempuan dapat mengalami dirinya sebagai manusia yang utuh, sebagai manusia yang terintegrasi dan bukan terfragmentasi, sebagai orang yang dapat berbahagia, bahkan ketika mereka tidak mampu membuat keluarga atau temannya bahagia. Teori politik marxis juga menawarkan suatu analisis kelas yang memberikan janji untuk membebaskan perempuan dari kekuatan yang mengopresinya. Marxisme berpendapat bahwa perempuan dan laki-laki dapat bersama-sama membangun struktur sosial dan peran sosial yang memungkinkan kedua gender untuk merealisasikan potensi kemanusiaannya secara penuh. Friedrich Engels dalam bukunya The Origin of the Family, menekankan bahwa ketika seorang laki-laki mengambil seorang perempuan, ia kemudian hidup di dalam rumah tangga si perempuan, Engels memaknai keadaan ini bukan sebagai tanda subordinasi perempuan, melainkan sebagai tanda kekuatan ekonomi perempuan. Engels berspekulasi bahwa masyarakat berpasangan mungkin bukan hanya matrilinear, tetapi juga matriakal, masyarakat  yang didalamnya perempuan mempunyai kekuatan ekonomi, sosial, dan politik. Point utamanya, tetap bahwa apapun status perempuan di masa lalu, status itu diperoleh dari posisinya di dalam rumah tangga, pusat produksi primitif. Sejalan dengan mulainya produksi di luar rumah yang melampaui produksi di dalam rumah, pembagian kerja tradisional berdasarkan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan, mempunyai makna sosial baru. Dengan semakin dianggap pentingnya pekerjaan dan produksi laki-laki, bukan saja nilai dan pekerjaan serta produksi perempuan menurun, melainkan status perempuan di dalam masyarakat juga menurun. Dalam tatanan keluarga baru inilah, menurut Engels, suami berkuasa  atas dasar kekuatan ekonominya.   Menurut Margareth Benston, perempuan pada awalnya adalah produsen dan hanya merupakan konsumen sekunder.  Sesungguhnya perempuan merupakan kelas yaitu kelas manusia yang bertanggung jawab atas produksi nilai guna sederhana dalam kegiatan yang diasosiasikan dengan rumah dan keluarga.  Kunci bagi pembebasan perempuan adalah sosialisasi pekerjaan rumah tangga. Menurut Benston, memberikan peluang bagi seorang perempuan untuk memasuki industri publik tanpa secara bersamaan mensosialiasikan pekerjaan domestik berarti menjadikan kondisi perempuan lebih teropresi. Feminis sosialis pada umumnya merupakan hasil ketidakpuasan feminis Marxis atas pemikiran Marxis yang buta gender dan kecenderungan Marxis untuk menganggap opresi terhadap perempuan jauh di bawah pentingnya opresi terhadap pekerja. Feminis sosialis mengklaim bahwa kapitalis tidak dapat dihancurkan kecuali patriarki juga dihancurkan dan bahwa hubungan material dan ekonomi manusia tidak dapat berubah kecuali jika ideologi mereka juga berubah. Perempuan harus menjalani dua perang, untuk dapat terbebas dari opresi. Seorang feminis sosialis kontemporer, Iri Young mentransformasi teori feminis Marxis menjadi teori feminis sosialis yang mampu membahas seluruh kondisi perempuan yaitu posisi perempuan di dalam keluarga dan tempat kerja, peran reproduksi dan seksual perempuan, dan juga peran produktif perempuan. Allison  Jaggar seorang feminis sosialis berpendapat dalam bukunya  Feminist Politics and Human Nature, dengan cara yang sama seorang buruh dialienasi atau dipisahkan dari produk yang dihasilkannya, tubuhnya.  Buruh juga perlahan-lahan teralienasi dari tubuhnya, tubuhnya mulai terasa seperti benda semata, sekedar mesin untuk mengeluarkan tenaga untuk bekerja.  Motherhood, seperti seksualitas juga merupakan pengalaman  yang mengalienasi perempuan. Perempuan dialienasi dari  produk pekerjaan reproduksinya, ketika orang lain yang menentukan, memutuskan, tentang berapa banyak anak yang akan dikandung dan dilahirkannya. Jaggar menekankan, perempuan harus memahami bahwa di dalam struktur  patriakal kapitalis abad 20, opresi terhadap perempuan terwujud dalam alienasi perempuan dari segala sesuatu dan dari setiap orang, terutama dirinya sendiri. Hanya jika perempuan memahami sumber sesungguhnya dari ketidakbahagiaannya mereka, perempuan akan berada di dalam posisi untuk melawannya. Kelemahan dan kekuatan Teori Marxis Feminis Marxis beranggapan bahwa opresi  di tempat kerja lebih utama daripada opresi perempuan. Kelas lebih penting daripada gender, karena itu feminis Marxis  tidak melihat adanya opresi yang dapat terjadi pada perempuan pekerja di tempat kerja. Teori feminis marxis cenderung buta gender. Teori feminis Marxis belum menjelaskan secara lengkap opresi yang terjadi di dalam keluarga (terhadap istri, anak dan suami), sebagai akibat dari posisi mereka sebagai pekerja di tempat kerja. Kekuatan teori feminis Marxis, melihat  tingkatan opresi dari berbagai sudut politik, masyarakat, ekonomi dan tentang manusia. Cita-cita Marxis untuk menciptakan dunia yang nyaman bagi perempuan, agar perempuan dapat mengalami dirinya sebagai manusia yang utuh dan terintegrasi bukan terfragmentasi. Dengan adanya cita-cita ini dapat menginspirasi perempuan dari berbagai kelas untuk menyatukan kekuatan atas dasar opresi yang sama sebagai kesadaran penuh untuk merebut kebahagiaan bersama. Kelemahan dan kekuatan teori feminis sosialis Feminis sosilais tidak  menekankan peran ras dan umur  yang bermain dalam sistem kesejahteraan sebagai hal yang dapat menjadi alasan opresi terhadap perempuan, sebagai contoh pada ras dan umur perempuan afrika yang harus melewati rintangan birokrasi yang panjang . Feminis sosialis menganalisis lebih jeli tentang opresi perempuan di dalam keluarga dan  posisi subordinat perempuan akibat sistem patriarki, bukan semata-mata karena sistem kapitalis. Sistem kapitalis dapat dihancurkan jika sistem patriarki turut dihancurkan. Perlu adanya revolusi Marxis untuk menghancurkan masyarakat kelas dan revolusi feminis untuk menghancurkan sistem sex/gender ( Juliet Mitchel dalam bukunya Woman’s state).  Analisis Dalam teori Marxis tentang sifat manusia, Marxis melihat perempuan sama dengan laki-laki dalam menciptakan masyarakat yang ”membentuk” mereka seperti sekarang, artinya Marxis tidak melihat bahwa perempuan adalah bagian dari masyarakat yang  ”dibentuk” oleh laki-laki dan masyarakat patriakal yang menyebabkan perempuan teropresi dari dunia kerja dan di dalam keluarga.  Masyarakat patriakal menjadikan perempuan sebagai alat produksi, laki-laki sebagai pemilik  atau pengguna alat. Kapitalis adalah laki-laki, yang memiliki cara pandang maskulin. Sehingga menyebabkan perempuan dalam masyarakat kapital hanya sebagai objek pekerja, laki-laki sebagai majikan melihat hasil produksi perempuan di luar rumah (publik) dan di dalam rumah sebagai barang yang tidak bernilai  guna.  Secara sosial, ekonomi dan pilitik, laki-laki menyebabkan perempuan teropresi. Saya sepakat jika dikatakan dalam teori ekonomi marxis, bahwa dalam masyarakat kapitalis terjadi hubungan kekuasaan, tetapi tidak sependapat jika dikatakan juga terjadi hubungan pertukaran. Hubungan kekuasaan jelas terjadi antara perempuan sebagai pekerja dan laki-laki sebagai majikan. Hubungan pertukaran tidak pernah terjadi sebenarnya, karena nilai guna yang ditukarkan dari hasil kerja (produksi) perempuan tidak pernah bernilai sama atau setara dengan hasil yang seharusnya diperoleh. Menurut saya, pada tataran ini, yang terjadi adalah hubungan perbudakan. Pendapat saya ini pun sekaligus membantah pendapat feminis liberal tentang kontraktual yang dilakukan pekerja.  Saya cenderung sepakat dengan feminis Marxis dalam melihat sistem kontrak dalam pekerjaan, bahwa tidak ada kontrak kerja yang bebas atau benar-benar disepakati oleh perempuan sebagai pekerja. Saya percaya, bahwa kontrak yang dilakukan bukan pilihan bebas dan sadar dari perempuan, tekanan selalu ada pada posisinya sebagai pekerja. Pada posisi sebagai single parent, misalnya, dimana perempuan sebagai penanggung jawab tunggal keluarga dengan terpaksa harus menerima pekerjaan yang tidak sesuai dengan potensi intelektualitasnya dan tenaganya, untuk memenuhi kebutuhan produksi rumah tangganya.  Menurut saya, perempuan pada berbagai kelas (borjuis-proletar) pasti mengalami opresi yang sama beratnya untuk persoalan di dalam rumah, namun akan berbeda pada persoalan di tempat kerja. Perempuan miskin akan selalu menjadi pekerja, dan perempuan borjuis pasti sebagai majikan. Karena ada kesamaan rasa teropresi dari dalam rumah yang bisa persis sama bentuknya dengan di tempat kerja, maka perempuan borjuis harusnya dapat merasakan penderitaan perempuan pekerja. Oleh karena itu, perempuan sebagai kekuatan tersendiri dalam masyarakat harus menyatukan energi positifnya dalam hubungan sisterhood yang kuat untuk merebut kembali kondisi yang membahagiakan bagi semua perempuan.     Marxis menurut saya kurang detail melihat jenis dan model opresi yang dialami perempuan di tempat kerja.  Jenis opresi yang dirasakan perempuan di tempat kerja sebagai pekerja, bukan saja masalah upah kerja, namun perempuan dapat saja mengalami kekerasan sexual berupa pemaksaan hubungan sex yang dilakukan majikan terhadap pekerja, kekerasan psikis, dimana majikan dapat dengan sewenang-wenang memukul perempuan pekerja ketika hasil produksi yang diharapkan tidak sesuai, yang semuanya pasti berdampak pada psikologi perempuan. Kekerasan yang dialami perempuan berlipat ganda ketika perempuan harus berperan ganda sebagai penghasil produk di rumah yang tidak mendapat dukungan dari  laki-laki (suami).  Sistem patriakal harus dihapuskan untuk membebaskan perempuan dari opresi. Lingkungan yang pertama-tama harus diubah adalah rumah tangga sebagai pusat terjadinya opresi.  Berbarengan dengan itu, sistem dan struktur negara kapitalis harus diubah. Perjuangan perempuan untuk adanya ”penghargaan” terhadap nilai tukar pekerjaan yang dilakukannya di dalam rumah  dalam bentuk penyediaan fasilitas  oleh negara harus didukung, misalnya penyediaan fasilitas kesehatan yang murah bagi perempuan, fasilitas pengasuhan anak di tempat kerja serta fasillitas lainnya yang dapat menunjang pekerjaan perempuan. Refleksi Teori feminis Marxis dan Sosialis jika direfleksikan pada posisi perempuan usaha kecil terhadap akses dan kontrolnya dalam keluarga, sangat memungkinkan perempuan sebagai  pengelola usahanya (manajer) menjadi majikan terhadap usahanya sendiri. Namun  sistem patriakal  dan cara pandang laki-laki yang belum berubah, membawa panderitaan baru bagi perempuan, dimana laki-laki sebagai suami (bukan pengelola usaha) justru bertindak sebagai majikan dan pengelola usaha bagi usaha yang dijalankan istrinya (perempuan). Laki-laki tetap memposisikan perempuan sebagai istri, yang dapat diatur menurut kehendak nya. Kepemilikan aset  (usaha) adalah milik  istri namun penguasaannya berada di tangan suami (laki-laki). Perempuan tidak memiliki kontrol terhadap usahanya.  Dalam pengambilan keputusan tentang barang yang akan di jual dan hasil dari usaha,  juga masih ditentukan dan diatur oleh laki-laki. Perempuan usaha kecil tidak memiliki akses dan kontrol. Kondisi ini diperparah dengan sistem nilai patriakal yang turut  dianut oleh negara dalam bentuk akses kredit pada perbankan, dimana perempuan yang memiliki dan mengelola sendiri usahanya, tetap tidak dapat mendapatkan pelayanan kredit jika akan mengakses haknya, kecuali atas persetujuan suami.  Walaupun perempuan menjadi tulang punggung keluarga secara ekonomi, namun tidak dapat menjamin hak-haknya dapat terpenuhi secara utuh. Hak atas tubuhnya pun, dalam hal ini hak reproduksi untuk menentukan kehamilan dan jumlah anak,  ditentukan oleh suami dan dokter (laki-laki ). Perempuan tidak memiliki akses dan kontrol terhadap reproduksinya.  Istri teralienasi dari produk pekerjaan reproduksinya.  Sebagai perempuan pekerja, pengelola usaha mandiri, perempuan seharusnya berhak utnuk mengmbnagkan usahanya dengan berjejaring dengan perempuan dan masyarakat lainnya,  namun hak perempuan untuk mendapatkan akses informasi, hak untuk berkumpul dan berorganisasi , yang telah dijamin negara dalam pasal 27 dan pasal 28 UUD 1945, tidak dapat terimplementasi . Sistem sex/gender yang telah berakar di dalam msyarakat, keluarga dan negara, menjadikan UUD tersebut hanya sebagai penghias sistem ketatanegaraan.Peran dan posisi perempuan di dalam rumah tidak akan berubah jika cara pandang laki-laki, masyarakat, perempuan lainnya dan negara tetap dengan cara pandang maskulin. Perempuan akan terus teropresi. Akses dan kontrol perempuan harus dibuka dan diperluas pada semua bidang kehidupan. Rumah, keluarga, masyarakat, media dan negara bertanggungjawab terhadap setiap penderitaan yang dialami oleh perempuan. Patriarki yang menyebabkan sistem sex/gender yang tidak adil dan setara harus dihancurkan.

Read Full Post »

Ikhtisar

 

Konsep Marxis atas sifat manusia adalah manusia menciptakan cara sendiri untuk dapat tetap hidup. Manusia menciptakan dirinya dalam proses yang sengaja, atau yang dilakukan dengan sadar yang bertujuan untuk mentransformasi dan memanipulasi alam.

 

Dalam suatu doktrin yang biasanya yang diberi istilah materisalisme historis, Marx menegaskan, “Modus produksi dari kehidupan sosial mengkondisikan proses umum kehidupan sosial, politik, dan intelektual. Bukanlah kesadaran manusia yang menentukan eksistensi mereka, melainkan eksistensi sosial menentukan kesadaran mereka”.

 

Komentar bahwa ”Pekerjaan perempuan tidak pernah selesai” bagi feminis Marxis adalah lebih dari sekedar afomisme, komentar itu merupakan gambaran dari sifat pekerjaan perempuan. Karena itu feminis Marxis percaya bahwa untuk memahami mengapa perempuan teropresi, sementara laki-laki tidak, maka kita perlu menganalisis hubungan antara status pekerjaan perempuan dan citra diri perempuan.

 

Dalam teori ekonomi Marxis, feminis Marxis percaya bahwa pekerjaan perempuan membentuk pemikiran perempuan dan karena itu membentuk juga sifat-sifat alamiah perempuan. Mereka juga percaya bahwa kapitalisme adalah suatu sistem hubungan kekuasaan yang eksploitatif (majikan mempunyai kekuasaan yang lebih besar, mengkoersi pekerja untuk bekerja lebih keras) dan hubungan pertukaran (bekerja untuk upah, hubungan yang diperjualbelikan).

 

Feminisme Marxis menolak hubungan kontraktual antara pekerja dan majikan. Marx memandang bahwa tidak ada pilihan bebas yang dapat diambil oleh pekerja. Majikan mempunyai monopoli alat produksi, karena itu pekerja harus memilih antara dieksploitasi atau tidak punya pekerjaan sama sekali. Atas dasar pemikiran ini, feminis Marxis berpendapat bahwa pada kondisi dimana seseorang tidak mempunyai hal berharga untuk dijual lagi lebih dari dan diluar tubuhnya, kekuatan tawarnya di pasar menjadi terbatas.

 

Berdasarkan teori kemasyarakatan, Marxis menganalisis bahwa kapitalis menciptakan jurang yang dalam (kelas) antara 2 kelompok yaitu pekerja (miskin dan tidak memiliki properti) dan majikan (hidup dalam kemewahan). Ketika dua kelompok ini, yang punya dan yang tidak, menjadi sadar akan dirinya sebagai kelas maka perjuangan kelas secara tidak terhindarkan akan menimbulkan dan pada akhirnya melucuti sistem yang menghasilkan kelas ini. Kelas tidak begitu saja muncul. Kelas muncul secara perlahan-lahan dibentuk oleh orang-orang yang berbagi kebutuhan dan keinginan yang sama. Pentingnya kelas tidak dapat diabaikan. Ketika sebagai kelompok manusia menyadari sepenuhnya kelompoknya sebagai kelas, kelompok ini mempunyai kesempatan yang besar untuk mencapai tujuan fundamentalnya. Ada kekuatan dalam jumlah. Kesadaran kelas menyebabkan orang-orang yang tereksploitasi untuk percaya bahwa mereka bebas untuk bertindak dan berbicara sama seperti orang-orang yang mengeksploitasinya.

 

Allen Wood dalam bukunya Karl Marx mengungkapkan pembagian kelas dapat menimbulkan kebencian dan sifat yang tersegmentasi serta terspesialisasi dari proses kerja, dimana eksistensi manusia akan kehilangan kesatuan dan keutuhannya dengan empat cara yaitu pertama, manusia teralienasi dari produk kerja, kedua teralienasi dari diri mereka sendiri, ketiga teralienasi dari manusia lainnya dan keempat teralienasi dari alam.

 

Ann Foreman berpendapat, jika alienasi pada perempuan sangatlah mengganggu karena perempuan mengalami dirinya bukan sebagai Diri, melainkan sebagai Liyan. Karena itu, feminis Marxis ingin menciptakan dunia tempat perempuan dapat mengalami dirinya sebagai manusia yang utuh, sebagai manusia yang terintegrasi dan bukan terfragmentasi, sebagai orang yang dapat berbahagia, bahkan ketika mereka tidak mampu membuat keluarga atau temannya bahagia.

 

Teori politik marxis juga menawarkan suatu analisis kelas yang memberikan janji untuk membebaskan perempuan dari kekuatan yang mengopresinya. Marxisme berpendapat bahwa perempuan dan laki-laki dapat bersama-sama membangun struktur sosial dan peran sosial yang memungkinkan kedua gender untuk merealisasikan potensi kemanusiaannya secara penuh.

 

Friedrich Engels dalam bukunya The Origin of the Family, menekankan bahwa ketika seorang laki-laki mengambil seorang perempuan, ia kemudian hidup di dalam rumah tangga si perempuan, Engels memaknai keadaan ini bukan sebagai tanda subordinasi perempuan, melainkan sebagai tanda kekuatan ekonomi perempuan. Engels berspekulasi bahwa masyarakat berpasangan mungkin bukan hanya matrilinear, tetapi juga matriakal, masyarakat  yang didalamnya perempuan mempunyai kekuatan ekonomi, sosial, dan politik. Point utamanya, tetap bahwa apapun status perempuan di masa lalu, status itu diperoleh dari posisinya di dalam rumah tangga, pusat produksi primitif. Sejalan dengan mulainya produksi di luar rumah yang melampaui produksi di dalam rumah, pembagian kerja tradisional berdasarkan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan, mempunyai makna sosial baru. Dengan semakin dianggap pentingnya pekerjaan dan produksi laki-laki, bukan saja nilai dan pekerjaan serta produksi perempuan menurun, melainkan status perempuan di dalam masyarakat juga menurun. Dalam tatanan keluarga baru inilah, menurut Engels, suami berkuasa  atas dasar kekuatan ekonominya. 

 

Menurut Margareth Benston, perempuan pada awalnya adalah produsen dan hanya merupakan konsumen sekunder.  Sesungguhnya perempuan merupakan kelas yaitu kelas manusia yang bertanggung jawab atas produksi nilai guna sederhana dalam kegiatan yang diasosiasikan dengan rumah dan keluarga.  Kunci bagi pembebasan perempuan adalah sosialisasi pekerjaan rumah tangga. Menurut Benston, memberikan peluang bagi seorang perempuan untuk memasuki industri publik tanpa secara bersamaan mensosialiasikan pekerjaan domestik berarti menjadikan kondisi perempuan lebih teropresi.

 

Feminis sosialis pada umumnya merupakan hasil ketidakpuasan feminis Marxis atas pemikiran Marxis yang buta gender dan kecenderungan Marxis untuk menganggap opresi terhadap perempuan jauh di bawah pentingnya opresi terhadap pekerja. Feminis sosialis mengklaim bahwa kapitalis tidak dapat dihancurkan kecuali patriarki juga dihancurkan dan bahwa hubungan material dan ekonomi manusia tidak dapat berubah kecuali jika ideologi mereka juga berubah. Perempuan harus menjalani dua perang, untuk dapat terbebas dari opresi.

 

Seorang feminis sosialis kontemporer, Iri Young mentransformasi teori feminis Marxis menjadi teori feminis sosialis yang mampu membahas seluruh kondisi perempuan yaitu posisi perempuan di dalam keluarga dan tempat kerja, peran reproduksi dan seksual perempuan, dan juga peran produktif perempuan.

 

Allison  Jaggar seorang feminis sosialis berpendapat dalam bukunya  Feminist Politics and Human Nature, dengan cara yang sama seorang buruh dialienasi atau dipisahkan dari produk yang dihasilkannya, tubuhnya.  Buruh juga perlahan-lahan teralienasi dari tubuhnya, tubuhnya mulai terasa seperti benda semata, sekedar mesin untuk mengeluarkan tenaga untuk bekerja.  Motherhood, seperti seksualitas juga merupakan pengalaman  yang mengalienasi perempuan. Perempuan dialienasi dari  produk pekerjaan reproduksinya, ketika orang lain yang menentukan, memutuskan, tentang berapa banyak anak yang akan dikandung dan dilahirkannya. Jaggar menekankan, perempuan harus memahami bahwa di dalam struktur  patriakal kapitalis abad 20, opresi terhadap perempuan terwujud dalam alienasi perempuan dari segala sesuatu dan dari setiap orang, terutama dirinya sendiri. Hanya jika perempuan memahami sumber sesungguhnya dari ketidakbahagiaannya mereka, perempuan akan berada di dalam posisi untuk melawannya.

 

Kelemahan dan kekuatan Teori Marxis

 

Feminis Marxis beranggapan bahwa opresi  di tempat kerja lebih utama daripada opresi perempuan. Kelas lebih penting daripada gender, karena itu feminis Marxis  tidak melihat adanya opresi yang dapat terjadi pada perempuan pekerja di tempat kerja. Teori feminis marxis cenderung buta gender. Teori feminis Marxis belum menjelaskan secara lengkap opresi yang terjadi di dalam keluarga (terhadap istri, anak dan suami), sebagai akibat dari posisi mereka sebagai pekerja di tempat kerja.

 

Kekuatan teori feminis Marxis, melihat  tingkatan opresi dari berbagai sudut politik, masyarakat, ekonomi dan tentang manusia. Cita-cita Marxis untuk menciptakan dunia yang nyaman bagi perempuan, agar perempuan dapat mengalami dirinya sebagai manusia yang utuh dan terintegrasi bukan terfragmentasi. Dengan adanya cita-cita ini dapat menginspirasi perempuan dari berbagai kelas untuk menyatukan kekuatan atas dasar opresi yang sama sebagai kesadaran penuh untuk merebut kebahagiaan bersama.

 

Kelemahan dan kekuatan teori feminis sosialis

 

Feminis sosilais tidak  menekankan peran ras dan umur  yang bermain dalam sistem kesejahteraan sebagai hal yang dapat menjadi alasan opresi terhadap perempuan, sebagai contoh pada ras dan umur perempuan afrika yang harus melewati rintangan birokrasi yang panjang .

 

Feminis sosialis menganalisis lebih jeli tentang opresi perempuan di dalam keluarga dan  posisi subordinat perempuan akibat sistem patriarki, bukan semata-mata karena sistem kapitalis. Sistem kapitalis dapat dihancurkan jika sistem patriarki turut dihancurkan. Perlu adanya revolusi Marxis untuk menghancurkan masyarakat kelas dan revolusi feminis untuk menghancurkan sistem sex/gender ( Juliet Mitchel dalam bukunya Woman’s state).

 

Analisis

 

Dalam teori Marxis tentang sifat manusia, Marxis melihat perempuan sama dengan laki-laki dalam menciptakan masyarakat yang ”membentuk” mereka seperti sekarang, artinya Marxis tidak melihat bahwa perempuan adalah bagian dari masyarakat yang  ”dibentuk” oleh laki-laki dan masyarakat patriakal yang menyebabkan perempuan teropresi dari dunia kerja dan di dalam keluarga.  Masyarakat patriakal menjadikan perempuan sebagai alat produksi, laki-laki sebagai pemilik  atau pengguna alat. Kapitalis adalah laki-laki, yang memiliki cara pandang maskulin. Sehingga menyebabkan perempuan dalam masyarakat kapital hanya sebagai objek pekerja, laki-laki sebagai majikan melihat hasil produksi perempuan di luar rumah (publik) dan di dalam rumah sebagai barang yang tidak bernilai  guna.  Secara sosial, ekonomi dan pilitik, laki-laki menyebabkan perempuan teropresi.

 

Saya sepakat jika dikatakan dalam teori ekonomi marxis, bahwa dalam masyarakat kapitalis terjadi hubungan kekuasaan, tetapi tidak sependapat jika dikatakan juga terjadi hubungan pertukaran. Hubungan kekuasaan jelas terjadi antara perempuan sebagai pekerja dan laki-laki sebagai majikan. Hubungan pertukaran tidak pernah terjadi sebenarnya, karena nilai guna yang ditukarkan dari hasil kerja (produksi) perempuan tidak pernah bernilai sama atau setara dengan hasil yang seharusnya diperoleh. Menurut saya, pada tataran ini, yang terjadi adalah hubungan perbudakan. Pendapat saya ini pun sekaligus membantah pendapat feminis liberal tentang kontraktual yang dilakukan pekerja.

 

Saya cenderung sepakat dengan feminis Marxis dalam melihat sistem kontrak dalam pekerjaan, bahwa tidak ada kontrak kerja yang bebas atau benar-benar disepakati oleh perempuan sebagai pekerja. Saya percaya, bahwa kontrak yang dilakukan bukan pilihan bebas dan sadar dari perempuan, tekanan selalu ada pada posisinya sebagai pekerja. Pada posisi sebagai single parent, misalnya, dimana perempuan sebagai penanggung jawab tunggal keluarga dengan terpaksa harus menerima pekerjaan yang tidak sesuai dengan potensi intelektualitasnya dan tenaganya, untuk memenuhi kebutuhan produksi rumah tangganya.

 

Menurut saya, perempuan pada berbagai kelas (borjuis-proletar) pasti mengalami opresi yang sama beratnya untuk persoalan di dalam rumah, namun akan berbeda pada persoalan di tempat kerja. Perempuan miskin akan selalu menjadi pekerja, dan perempuan borjuis pasti sebagai majikan. Karena ada kesamaan rasa teropresi dari dalam rumah yang bisa persis sama bentuknya dengan di tempat kerja, maka perempuan borjuis harusnya dapat merasakan penderitaan perempuan pekerja. Oleh karena itu, perempuan sebagai kekuatan tersendiri dalam masyarakat harus menyatukan energi positifnya dalam hubungan sisterhood yang kuat untuk merebut kembali kondisi yang membahagiakan bagi semua perempuan.    

 

Marxis menurut saya kurang detail melihat jenis dan model opresi yang dialami perempuan di tempat kerja.  Jenis opresi yang dirasakan perempuan di tempat kerja sebagai pekerja, bukan saja masalah upah kerja, namun perempuan dapat saja mengalami kekerasan sexual berupa pemaksaan hubungan sex yang dilakukan majikan terhadap pekerja, kekerasan psikis, dimana majikan dapat dengan sewenang-wenang memukul perempuan pekerja ketika hasil produksi yang diharapkan tidak sesuai, yang semuanya pasti berdampak pada psikologi perempuan. Kekerasan yang dialami perempuan berlipat ganda ketika perempuan harus berperan ganda sebagai penghasil produk di rumah yang tidak mendapat dukungan dari  laki-laki (suami).  Sistem patriakal harus dihapuskan untuk membebaskan perempuan dari opresi. Lingkungan yang pertama-tama harus diubah adalah rumah tangga sebagai pusat terjadinya opresi.  Berbarengan dengan itu, sistem dan struktur negara kapitalis harus diubah. Perjuangan perempuan untuk adanya ”penghargaan” terhadap nilai tukar pekerjaan yang dilakukannya di dalam rumah  dalam bentuk penyediaan fasilitas  oleh negara harus didukung, misalnya penyediaan fasilitas kesehatan yang murah bagi perempuan, fasilitas pengasuhan anak di tempat kerja serta fasillitas lainnya yang dapat menunjang pekerjaan perempuan.

 

Refleksi

 

Teori feminis Marxis dan Sosialis jika direfleksikan pada posisi perempuan usaha kecil terhadap akses dan kontrolnya dalam keluarga, sangat memungkinkan perempuan sebagai  pengelola usahanya (manajer) menjadi majikan terhadap usahanya sendiri. Namun  sistem patriakal  dan cara pandang laki-laki yang belum berubah, membawa panderitaan baru bagi perempuan, dimana laki-laki sebagai suami (bukan pengelola usaha) justru bertindak sebagai majikan dan pengelola usaha bagi usaha yang dijalankan istrinya (perempuan). Laki-laki tetap memposisikan perempuan sebagai istri, yang dapat diatur menurut kehendak nya. Kepemilikan aset  (usaha) adalah milik  istri namun penguasaannya berada di tangan suami (laki-laki). Perempuan tidak memiliki kontrol terhadap usahanya.

 

Dalam pengambilan keputusan tentang barang yang akan di jual dan hasil dari usaha,  juga masih ditentukan dan diatur oleh laki-laki. Perempuan usaha kecil tidak memiliki akses dan kontrol. Kondisi ini diperparah dengan sistem nilai patriakal yang turut  dianut oleh negara dalam bentuk akses kredit pada perbankan, dimana perempuan yang memiliki dan mengelola sendiri usahanya, tetap tidak dapat mendapatkan pelayanan kredit jika akan mengakses haknya, kecuali atas persetujuan suami.  Walaupun perempuan menjadi tulang punggung keluarga secara ekonomi, namun tidak dapat menjamin hak-haknya dapat terpenuhi secara utuh. Hak atas tubuhnya pun, dalam hal ini hak reproduksi untuk menentukan kehamilan dan jumlah anak,  ditentukan oleh suami dan dokter (laki-laki ). Perempuan tidak memiliki akses dan kontrol terhadap reproduksinya.  Istri teralienasi dari produk pekerjaan reproduksinya.

 

Sebagai perempuan pekerja, pengelola usaha mandiri, perempuan seharusnya berhak utnuk mengmbnagkan usahanya dengan berjejaring dengan perempuan dan masyarakat lainnya,  namun hak perempuan untuk mendapatkan akses informasi, hak untuk berkumpul dan berorganisasi , yang telah dijamin negara dalam pasal 27 dan pasal 28 UUD 1945, tidak dapat terimplementasi . Sistem sex/gender yang telah berakar di dalam msyarakat, keluarga dan negara, menjadikan UUD tersebut hanya sebagai penghias sistem ketatanegaraan.

Peran dan posisi perempuan di dalam rumah tidak akan berubah jika cara pandang laki-laki, masyarakat, perempuan lainnya dan negara tetap dengan cara pandang maskulin. Perempuan akan terus teropresi. Akses dan kontrol perempuan harus dibuka dan diperluas pada semua bidang kehidupan. Rumah, keluarga, masyarakat, media dan negara bertanggungjawab terhadap setiap penderitaan yang dialami oleh perempuan. Patriarki yang menyebabkan sistem sex/gender yang tidak adil dan setara harus dihancurkan.

Read Full Post »

Percobaaan

Berhubung setelah dicoba gagal, maka dilakukan pengulangan terhadap percobaan atas kegagalan sebelumnya. Harap dipahami, dimengeti dan dimaklumi, bahwa kesalahan sepenuhnya bukan pada diriku melainkan pada koneksi internet yang gagal!

Read Full Post »

Hello world!

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!

Read Full Post »