Feeds:
Posts
Comments

Archive for the ‘Perempuan’ Category

Ikhtisar

Jean Paul Sartre dalam Being and Nothingness menggambarkan psike sebagai jiwa yang teralienasi dan membuat perbedaan antara pengamat dan yang diamati dengan membagi Diri ke dalam 3 bagian yaitu pertama ada untuk dirinya sendiri (pour-soi), kedua ada dalam dirinya sendiri (en-soi). Ada dalam dirinya sendiri mengacu kepada kehadiran material repetitif yang dimiliki oleh manusia dengan binatang, sayuran, dan mineral. Ada untuk dirinya sendiri mengacu kepada kehadiran yang bergerak dan berkesadaran, yang hanya dimiliki oleh manusia.

Menurut Sartre, apa yang memisahkan ke-Aku-an seseorang-kesadaran seseorang atau pikiran seseorang dari tubuhnya, secara paradoks, adalah tidak ada sama sekali (nothing) atau ketiadaan (nothingness).

Ketiga, Ada untuk yang lain. Sartre kadang-kadang menggambarkan modus ke-Ada-an ini dalam 2 bentuk. Secara positif atau sebagai Mit-sein, sebagai ada dengan komunal.Meskipun demikian, Sartre lebih sering menggambarkannya secara negatif yaitu Ada dengan yang melibatkan ” Konflik personal karena setiap ada untuk diirnya sendiri berusaha untuk menemukan Ada-nya sendiri dengan secara langsung atau tidak llangsung menjadikan yang lain sebagai objek”.

Menurut Sartre, kebebasan, karakteristik yang membedakan suatu diri, lebih merupakan kutukan daripada rahmat. Kebebasan merupakan kutukan, karena selama seseorang sadar, tidak ada kelegaan dari kebebasan untuk memilih dan menegakkan diri. Lebih daripada itu, apa yang disebut sebagai ”sifat manusia”, suatu esensi/inti yang dimiliki bersama-sama oleh semua manusia, yang menentukan bagaimana seorang manusia seharusnya, sesungguhnya tidak ada.

Sartre berpendapat bahwa setiap subjek membangun dirinya sebagai transenden dan bebas serta memandang Liyan sebagai imanen dan diperbudak. Begitu kita memilih satu pilihan untuk diri kita, kita secara terus menerus menghilangkan kemungkinan kemungkinan Liyan. Kita mendapatkan masa depan dengan cara menggadaikan masa lalu, dan resiko membebani psike kita. Jika kita berkeras mengatakan bahwa kita tidak mengalami beban psike itu, seperti ketakutan, ketidakberdayaan, rasa mual, Sartre akan mengkategorikan kita sebagai orang yang memiliki “bad faith”, suatu keadaan yang dekat dengan penipuan diri, kesadaran semu, atau delusi. Karena itu tujuan dari bad faith adalah untuk melarikan dari kondisi yang buruk tersebut.

Dari semua kategori yang diajukan oleh Sartre, yang paling tepat untuk diterapkan sebagai analisis feminis adalah Ada untuk yang lain. Menurut Sartre, hubungan antarmanusia adalah variasi dari dua bentuk dasar tema konflik; konflik antara kesadaran yang saling bersaing, yaitu antara Diri dan Liyan. Pertama, ada cinta, yang pada dasarnya bersifat masokistik. Kedua, ketidakpedulian, hasrat, dan kebencian, yang pada dasarnya bersifat sadistis.

Simone de Beauvoir dalam Eksistensialisme untuk Perempuan, mengadopsi bahasa ontologis dan bahasa etis eksistensialisme, mengemukakan bahwa laki-laki dinamai “laki-laki” sang Diri, sedangkan “perempuan” sang Liyan. Jika Liyan adalah ancaman bagi Diri, maka perempuan adalah ancaman bagi laki-laki. Karena itu, jika laki-laki ingin tetap bebas, ia harus mensubordinasi perempuan terhadap dirinya.

Menurut Dorothy Kauffman McCall, opresi perempuan oleh laki-laki unik karena dua alasan; “pertama, tidak seperti opresi ras dan kelas, opresi terhadap perempuan merupakan fakta historis yang saling berhubungan, suatu peristiwa dalam waktu yang berulangkali dipertanyakan dan diputarbalikkan. Perempuan selalu tersubordiansi laki-laki. Kedua, perempuan telah menginternalisasi cara pandang asing bahwa laki-laki adalah esensial dan perempuan adalah tidak esensial.

Beauvoir mengatakan bahwa meskipun fakta bilogis dan psikologis tentang perempuan misalnya, peran utamanya dalam reproduksi psikologis relatif terhadap peran sekunder laki-laki, kelemahan fisik perempuan relatif terhadap kekuatan fisik laki-laki, dan peran tidak aktif yang dimainkannya dalam hubungan seksual adalah relatif terhadap peran aktif laki-laki, dapat saja benar, namun bagaimana kita menilai fakta ini bergantung pada kita sebagai makhluk sosial.

Beauvoir menambahkan bahwa bersamaan dengan berkembangnya kebudayaan, laki-laki mendapatkan bahwa mereka dapat menguasai perempuan dengan menciptakan mitos tentang perempuan; irasionalitasnya, kompleksitasnya, dan mitos bahwa perempuan sulit dimengerti. Melalui penciptaan mitos ini, Beauvoir menekankan bahwa setiap laki-laki selalu dalam pencarian akan perempuan ideal yaitu perempuan yang akan menjadikannya lengkap. Tetapi karena kebutuhan dasar laki-laki sangatlah mirip, maka perempuan ideal yang dicari laki-laki cenderung tampak sama.

Beauvoir melabeli tindakan tragis perempuan yang menerima ke-Liyanan mereka sebagai misteri feminin, yang diturunkan dari generasi ke generasi melalui sosialisasi yang menyakitkan. Ia menyatakan bahwa perempuan menyadari perbedaan tubuhnya dengan tubuh laki-laki dari usia yang sangat muda. Dengan pubertas dan dengan semakin tumbuhnya payudaranya, dan dengan dimulainya siklus menstruasinya, anak-anak perempuan dipaksa utnuk menerima dan menginternalisasi tubuhnya sebagai Liyan, yang memalukan dan inferior. Ke-Liyanan ini, menurut Beauvoir dilekatkan dalam lembaga perkawinan dan matherhood.

Kekuatan dan Kelemahan Feminis Eksistensialis

Kekuatan teori Beauvoir adalah ia memberi penguatan dan penyadaran terhadap perempuan lainnya akan tubuh dan posisi mereka yang dipaksa untuk menerima keadaan dirinya sebagaimana lingkungan membuatya untuk mereka. Beauvoir melihat lebih jauh bahwa situasi politik, hukum, ekonomi, sosial dan kebudayaan turut menghambat perempuan. Oleh karena itu Beauvoir menyarankan kepada perempuan agar dapat mengambil keputusan tegas untuk menentukan nasib mereka sendiri walaupun disadari bahwa kemungkinan tidak ada pilihan positif dan perempuan diharuskan bertanggungjawab terhadap keputusan yang mereka ambil.

Beauvoir kurang memperhitungkan kemampuan dan beban perempuan yang harus ditanggung dalam memutuskan hal yang menyangkut kehidupan perempuan( termasuk tubuh dan reproduksi ) yang telah lama melekat kuat dari generasi ke generasi. Beauvoir tidak melihat perlunya penguatan sesama perempuan (sisterhood) yang dapat dilakukan secara kolektif untuk membebaskan diri secara bersama-sama.

Analisis

Pendapat Sartre yang membagi jiwa menjadi 3, Ada di dalam Diri, Ada untuk Diri dan Ada untuk yang lain, menurut saya adalah bentuk kompromi jiwa dengan keadaan didalam diri dan diluar diri, bentuk tidakegoisan kita sebagai manusia untuk menerima kondisi jiwa kita dan kondisi orang lain. Opresi akan terjadi justru jika kita tidak dapat berkompromi dengan diri kita dan di luar diri kita. Opresi yang datang dari luar diri kita, tidak akan mampu mengopresi Diri kita, jika jiwa kita memandang hal yang terjadi tersebut secara positif dengan melakukan kompromi2 jiwa. Bagi saya tidak ada satupun orang atau jiwa lain yang dapat mengopresi saya kecuali cara pikir dan cara pandang saya yang selalu negatif dan tanpa kompromi.

Pandangan Beauvoir tentang peran istri yang membatasi kebebasan perempuan serta memandang lembaga perkawinan merusak hubungan suatu pasangan, menurut saya terlalu pesimis. Beauvoir hanya melakukan pengamatan sepotong-potong, tidak masuk ke dalam dunia sebagai istri dan kemungkinan memilih tidak memasukkan diri ke dalam lembaga perkawinan, menunjukkan ketakutannya akan penguasaan “Liyan” dalam dirinya. Beauvoir tidak percaya diri dengan kemampuannya untuk mengelola jiwanya agar tidak teralienasi dari jiwanya sendiri dan orang lain. Dengan memasuki lembaga perkawinan, bukan hanya perempuan namun juga laki-laki sebenarnya sedang memasuki dunia lain yang membutuhkan menejemen sendiri, kecerdasan emosional sendiri, dimana seluruh pikiran kita dan idealisme kita sedang diuji. Apakah kita cukup cerdas menyelaraskan kehidupan antara 2 orang dan lebih yang berbeda pandangan dengan kita?. Lembaga perkawinan menurutku adalah sebuah dunia yang disiapkan lebih kepada perempuan untuk menunjukkan kemampuannya, untuk tidak diopresi, tempat untuk meningkatkan posisi tawar.

Beauvoir bersikeras, bahwa proses melahirkan bukanlah tindakan tapi semata-mata suatu peristiwa. Hal ini saya setuju, memang menurut saya melahirkan bukan lah sebuah tindakan namun sebuah peristiwa yang memberitahukan kepada dunia, bahwa perempuan itu hebat dan luar biasa bukan sebagai hal yang mengalienasi perempuan dari dirinya seperti pendapat Beauvoir.

Pandangan Beauvoir menurut saya bias kelas. Hal ini dapat dimengerti karena latar belakang kehidupannya dari kalangan borjuis. Beauvoir akhirnya melihat perempuan itu sama saja atau homogen, Beauvoir tidak menyadari bahwa kehidupan perempuan di kelas bawah mungkin tidak akan memandang perkawinan, melahirkan dan anak hanya sebagai objek tubuh dan mengalienasi, namun bisa sebaliknya menjadi nyaman, aman dan bahkan bisa lebih parah. Begitu pula pandangan Beauvoir yang memandang perempuan pekerja yang harus tampil selalu rapi dan menyenangkan orang lain termasuk laki-laki dengan caranya menjaga penampilan, menurut saya sangat bias. Bagi perempuan pekerja kelas bawah, penampilan tidak lagi menjadi utama, mungkin yang menjadi fokus mereka adalah bagaimana memenuhi kebutuhan sandang pangan keluarga dan kesejahteraan keluarga.

Refleksi

Apa yang saya kemukakan dalam analisis diatas adalah analisis saya terhadap kondisi riil yang saya rasakan sebagai perempuan yang memilih untuk mengikatkan diri dalam lembaga perkawinan dan memilih untuk melahirkan. Saya tidak pernah merasakan terhambat kebebasanku sebagai perempuan bekerja untuk aktif di dunia publik. Suami saya sangat mendukung dan memberi kebebasan bagi saya untuk menentukan langkah, menentukan cita2 yang terbaik bagi kehidupan saya sebagai perempuan dan yang bermanfaat bagi keluarga saya. Dengan melahirkan pun, saya secara sadar tidak pernah beranggapan bahwa ada sesuatu yang lain dalam diri saya yang mengopresi. Proses melahirkan bagi saya adalah sebuah peristiwa penting yang terjadi dalam hidup saya, yang tidak semua perempuan pun dapat melakukannya, apalagi laki-laki yang memang tidak memiliki Rahim. Jika Beauvoir berpendapat bahwa perempuan baik pekerja maupun sebagai ibu dan istri cenderung narsis, agar tetap dipandang sebagai perempuan, maka hal ini tidak lah benar menurut saya. Dengan berpenampilan rapi, sederhana tanpa berlebihan pun perempuan telah menonjolkan kecantikannya. Masing-masing perempuan tentunya mempunyai kecantikan yang unik. Oleh karena itu tidak lah salah, jika perempuan memiliki cara yang berbeda dalam memelihara kecantikannya, dan hal ini tidak dapat dikatakan narsis. Sebagai manusia saya punya kewajiban menjaga kebersihan, keindahan dan kesehatan tubuh saya, oleh karena itu saya pun kadangkala mesti menggunakan jasa salon kecantikan. Waktu yang saya gunakan tetap bermanfaat, tidak sia-sia, karena dilakukan diluar jadwal pekerjaan. Waktu yang ada dalam hidup ini tidak dapat semuanya kita gunakan untuk bekerja atau digunakan semuanya hanya untuk bersenang2 dengan diri, namun kita juga harus adil terhadap kehidupan yang lain. Ada waktu yang dialokasikan untuk diri, untuk dalam diri sendiri dan untuk orang lain.

Read Full Post »

IKHTISAR

A. Pemikiran-pemikiran feminisme radikal libertarian.

Menurut Alison jaggar dan Paula Rothenberg, penyebab fundamental dari opresi terhadap perempuan adalah sistem sex/gender.

Alice Echols, berpendapat bahwa seorang feminis radikal harus menguatkan “keperempuanan“ esensial perempuan, bagi Echols lebih baik menjadi perempuan/feminin dari pada menjadi laki-laki/maskulin. Ditambahkan oleh Echols, bahwa perbedaan seks/gender mengalir bukan semata-mata dari biologi, melainkan juga dari sosialisasi atau dari sejarah keseluruhan menjadi perempuan di dalam masyarakat yang patriakal.

Salah satu dari feminis radikal libertarian yang pertama bersikeras menyatakan bahwa akar opresi terhadap perempuan sudah terkubur dalam di dalam sistem seks/gender di dalam patriarki adalah Kate Millett. Millet berpendapat dalam bukunya Sexual Politics (1970), bahwa seks adalah politis, terutama karena hubungan laki-laki dan perempuan merupakan paradigma dari semua hubungan kekuasaan. Ideologi patriakal, menurut Millett, membesar-besarkan perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki selalu mempunyai peran yang dominan dari pada perempuan.

Seperti Millet, Shulamith Firestone dalam karyanya Dialectic of Sex, mengklaim bahwa dasar material ideologi seksual/politik dari submisi perempuan dan dominasi laki-laki berakar pada peran reproduksi laki-laki dan perempuan. Menurut Firestone dibutuhkan lebih dari revolusi biologis dan sosial, untuk menghasilkan jenis pembebasan manusia yaitu reproduksi buatan (ex utero) akan harus menggantikan reproduksi alami ( in Utero).

Firestone bersikeras bahwa tidak akan ada perubahan fundamental bagi perempuan selama reproduksi alamiah tetap menjadi keharusan. Menurutnya, reproduksi alamiah adalah akar dari kejahatan, terutama kejahatan yang muncul dari rasa memiliki, yang menghasilkan rasa kebencian dan kecemburuan di antara manusia.

Millet, setuju dengan androgin, dimana menurutnya manusia androgin yang ideal mengkombinasikan keseimbangan antara karakteristik laki-laki atau perempuan yang terbaik, sementara bagi Firestone, tidak mungkin seseorang menjadi androgin.

Feminisme radikal libertarian menolak asumsi bahwa ada hubungan yang pasti antara jenis kelamin seseorang dengan gender seseorang. Mereka mengklaim bahwa gender adalah terpisah dari jenis kelamin dan masyarakat patriakal menggunakan peran gender yang kaku, untuk memastikan bahwa perempuan tetap pasif. Karena itu, cara bagi perempuan untuk menghancurkan kekuasaan laki-laki yang tidak layak atas perempuan adalah dengan pertama-tama menyadari bahwa perempuan tidak ditakdirkan utnuk menjadi pasif, seperti juga laki-laki tidak ditakdirkan untuk menjadi aktif.

Feminisme radikal libertarian yakin bahwa semakin sedikit perempuan terlibat di dalam proses reproduksi, semakin banyak waktu dan tenaga yang dapat digunakan untuk terlibat di dalam proses produktif masyarakat.

B. Pemikiran-pemikiran feminisme radikal kultural

Marilyn French mengatribusikan perbedaan laki-laki dan perempuan lebih kepada biologi daripada kepada sosialisasi. Dalam bukunya Beyond Power , French mengisyaratkan bahwa sifat tradisional perempuan lebih baik daripada sifat tradisional laki-laki. Stratifikasi laki-laki yang di atas perempuan pada gilirannya mengarahkan kepada stratifikasi kelas. French mengklaim, bahwa nilai-nilai feminim harus direintegrasikan ke dalam masyarakat laki-laki yang telah diciptakan oleh ideologi patriakal. Bagi French, masyarakat yang terbaik adalah masyarakat yang androgin. French menekankan bahwa adalah baik bagi manusia untuk mempunyai kuasa dan juga kenikmatan di dalam hidup mereka, asalkan kuasa yang muncul bukan sebagai hasrat untuk menghancurkan (power over), tetapi lebih sebagai hasrat untuk mencipta (power to).

Mary Daly, merendahkan nilai-nilai maskulin tradisional. Dalam bukunya Beyond God The Father, Mary Daly menolak istilah maskulin dan feminin secara keseluruhan, sebagai produk kebingungan patriarki. Daly menyimpulkan bahwa perempuan harus menolak apa yang tampaknya merupakan aspek “baik” dari feminitas, dan juga menolak aspek yang sudah jelas-jelas “buruk” karena kesemua itu merupakan “konstruksi yang dibuat laki-laki”, yang dibentuk untuk kepentingan menjebak perempuan di dalam penjara patriarki yang dalam.

Daly menjelaskan lebih jauh bahwa, laki-laki ingin menjadi androgin agar dapat menyerap atau bahkan memakan segala sesuatu tentang perempuan dan menyedot energi perempuan ke dalam tubuh dan pikiran mereka. Perempuan harus menenun pemahaman diri yang baru, tetap terpisah secara radikal dari laki-laki, dan dengan demikian dapat menyimpan energinya untuk kepentingan sendiri.

Feminis radikal kultural yakin bahwa sumber utama kekuatan perempuan ada pada kekuatan mereka untuk menghadirkan kehidupan baru. Bagi feminis radikal kultural, kunci pembebasan perempuan adalah dengan menghapuskan semua institusi patriakal ( misalnya industri pornografi, keluarga, prostitusi dan heteroseksualitas yang diwajibkan)

ANALISA

Dengan bercermin pada kehidupan beberapa hewan seperti capung dan lebah misalnya, maka bagi mereka yang berpikir, harusnya dapat mengambil pelajaran penting dari kehidupan hewan tersebut, yang secara alamiah ternyata posisi capung dan lebah betina sangat memegang peranan penting bagi kehidupan komunitasnya. Dalam melakukan perkawinan dengan jantan, capung betina akan terbang setinggi-tingginya, dan hanya capung jantan “pilihan” yang dapat terbang tinggi mengejar betina , yang berhak untuk melakukan perkawinan dengan capung betina. Lebah betina sangat ditakuti karena memiliki racun yang berbahaya sebagai alat perlindungan dan perlawanannya. Jika lebah betina di usik dengan cara yang tidak benar, maka si lebah akan mengejar dan menancapkan sungutnya yang tajam dan beracun pada tubuh si “usik”. Bagi orang yang tersengat, akan kesakitan luar biasa, namun dibalik kesakitannya ada obat penawar yang turut dimasukkan oleh lebah ke dalam tubuh si usik yang dapat menyembuhkan beberapa penyakit. Hanya lebah ”Ratu” betina yang dapat menghasilkan “madu” yang sangat berguna bagi kelangsungan kehidupan manusia.

Jika kita mencermati fenomena kehidupan alam tersebut, maka secara pribadi saya sangat meyakini bahwa perempuan adalah makhluk yang paling utama memegang peranan penting di muka bumi ini. Fenomena kehidupan tersebut, menggambarkan bahwa sifat androgini perlu dimiliki bagi perempuan. Laki-laki dan perempuan diciptakan oleh ALLah tentunya untuk saling membangun peradaban yang terbaik bagi kehidupan.

Perempuan adalah mahkluk yang paling penting dan memegang kendali kehidupan dengan adanya alat reproduksi di dalam tubuhnya. Filosofi tentang tubuh perempuan bagi saya adalah sangat menarik. Keunikan fisik tubuh perempuan yang memiliki payudara yang besar (karena hormon progesteron), menstruasi dan rahim sebagai alat reproduksi, yang tidak dimiliki oleh laki-laki, justru merupakan ”kekuatan” bagi perempuan. Saya tidak menyangkal, jika ”kekuatan perempuan” ini lah yang kemungkinan menjadikan laki-laki merasa iri dan melakukan opresi terhadap perempuan, laki-laki ingin ”merampas kekuatan” perempuan, dengan menciptakan kehidupan yang tidak harmonis yang dapat dimulai dari kehidupan keluarga dan mayarakat.

Dengan keunikan tubuh tersebut, perempuan harus menjadikannya sebagai alat bargainning untuk merebut kembali kekuatan tersebut. Perempuan harus menentukan sendiri laki-laki terbaik (pasangannya) yang berhak menjadi pasangannya untuk membangun kehidupan melalui kesepakatan yang dibangun sebelum hidup bersama. Menurut saya, institusi perkawinan adalah salah satu alternatif yang dapat dipilih oleh perempuan sebagai sarana untuk mengembalikan kehidupan dan kekuatan perempuan yang sesungguhnya. Penentuan kehamilan, jenis kelamin anak, masa depan pengasuhan, model pengasuhan, merupakan point penting untuk dijadikan alat bargainning sebelum menikah.


KEKUATAN DAN KELEMAHAN BEBERAPA TEORI FEMINIS RADIKAL

Pendapat Kate Millet tentang sex adalah politis, menurut saya memberikan kekuatan kepada perempuan untuk menggunakan keunikan tubuhnya sebagai alat bargainning. Oleh karena itu pendapat Firestone tentang perlunya revolusi biologis, menurut saya tidaklah penting, revolusi sosial menjadi penting untuk membebaskan manusia dari cara pandang atau cara pikir yang salah tentang hubungan laki-laki dan perempuan dalam menentukan kehidupan. Ide tentang reproduksi buatan justru melemahkan perempuan, menciptakan kecemburuan antara perempuan, dan merenggangkan tali persaudaraan diantara perempuan.

Daly terlalu percaya diri bahwa perempuan hanyalah manusia satu-satunya yang terbaik. Tidak semua perempuan ”baik” dan tidak semua laki-laki ” buruk”. Dengan cara pandang seperti itu, Daly justru menciptakan ketidakseimbangan yang dapat memicu permusuhan antar kelas. Daly seharusnya dapat bercermin pada French, yang menekankan bahwa adalah baik bagi manusia untuk mempunyai kuasa dan juga kenikmatan di dalam hidup mereka, asalkan kuasa yang muncul bukan sebagai hasrat untuk menghancurkan (power over), tetapi lebih sebagai hasrat untuk mencipta (power to).

REFLEKSI

Fenomena kehidupan di Indonesia perlu dikaji berdasarkan teori feminisme radikal, terutama pandangan masyarakat tentang pornografi, homoseksual (gay/lesbian) dan reproduksi perempuan. Di Indonesia masih belum mengakui adanya kelompok masyarakat yang berorientasi pada homoseksual. Masyarakat Indonesia sebagian besar belum bertindak adil terhadap kelompok ini. Masyarakat menyebutnya sebagai kelompok yang ” menyimpang”. Dan sebagai feminis, kita bertanggung jawab untuk melakukan diseminasi terhadap masyarakat, teman dan keluarga, agar kelompok masyarakat yang memilih orientasi sexual berbeda dari kebanyakan orang (heteroseksual) juga berhak ”hidup” di tengah masyarakat.

Untuk soal reproduksi, perempuan menjadi kelinci percobaan dari setiap alat kontrasepsi. Perempuan dipaksa untuk menggunakan alat kontrasepsi oleh suami, mertua dan pemerintah. Kebanyakan perempuan di Indonesia belum mengetahui dan mengenal alat reproduki mereka sendiri. Pendidikan sex sejak dini perlu dimulai di dalam keluarga dan melalui reformasi kurikulum sekolah dasar. Peranan institusi perkawinan sangat penting, dimana perempuan dan laki-laki secara bersama-sama bertanggungjawab dalam memperkenalkan sejak dini pendidikan sex kepada anak.

Read Full Post »